Di Mana Pemuda Sekarang
Sebuah refleksi ringan Hari Sumpah Pemuda Ada seorang ustadz merasa janggal saat beberapa kali mengisi ceramah, baik di kota, kampung, masjid kecil atau besar yaitu langkanya anak muda hadir.
Jamaah yang banyak adalah golongan orang tua dan golongan anak-anak yang meramaikan masjid. Orang-orang tua yang sudah bungkuk-bungkuk dan kebanyakan sudah mengidap sakit-sakitan. Anak-anak dengan dunia mainnya juga ikut berkerumun di masjid untuk shalat jamaah dan ikut mendengarkan taushiah dengan gaya kekanak-kanakannya.
Generasi yang di tengah antara orang tua dan anak-anak yaitu generasi muda entah di mana atau ke mana.
Mereka yang diharapkan menjadi tulang punggung untuk penerus bangsa dan agama, mereka yang semestinya harus banyak di masjid untuk mendapatkan pencerahan karena usianya yang rawan dengan berbagai macam godaan. Merekalah yang tenaganya masih kuat, pikiran juga tajam dan semangatnya bisa membara dibandingkan dengan orang-orang tua dan anak-anak.
Masjid menjadi sepi dan kurang gairah, jika tidak ada anak-anak muda aktif di dalamnya. Hanya ramai oleh suasana gaduh anak-anak main yang bukan tempatnya. Suasana juga hening, hanya sesekali terdengar suara dzikir disertai batuk-batuk oleh orang-orang tua.
Aroma masjid bukan minyak wangi anak-anak muda yang rajin memakainya tapi aroma minyak angin dan minyak gosok yang dipakai orang-orang tua untuk mencegah masuk angin. Suara-suara adzan di masjid-masjid tidak lantang dan panjang untuk mengundang orang datang memenuhi panggilan Allah untuk Shalat lima waktu di masjid. Salah satu sebabnya muadzinnya adalah orang-orang tua yang nafasnya sudah pendek dan serak-serak kering, bukan gairah untuk ke masjid tapi seolah mengantar untuk tidur saja.
Sesekali anak-anak juga adzan tapi dengan lidah pelo dan kelucuannya. Tragisnya ada yang mengganti dengan suara rekaman dari kaset atau CD, karena tidak ada yang mampu adzan. Entah sah atau tidak, tapi itulah yang bisa dilakukan karena ketiadaan anak muda di dalam masjid. Masjid juga terlihat kotor, kumuh dan tidak segar. Sarang laba-laba juga memenuhi langit-langit masjid. Ibarat bangunan tua yang sesekali dikunjungi seperti museum penyimpan benda-benda keramat. Karena takmirnya orang-orang tua yang tidak mampu lagi menyapu dan mengepel dengan rutin. Sehingga kalau sujud harus sambil menutup hidung karena menahan bau dan debu lantai masjid.
Tanpa anak muda, kegiatan masjid cenderung monoton dan kurang kreatif. Sehingga kemakmuran masjid masih jauh dari harapan. Masjid tidak lagi mempunyai magnet untuk menarik jamaahnya datang dan betah di rumah Allah. Pergeseran Anak Muda Anak muda sekarang, mudah ditemukan di jalan-jalan, mall-mall, alun-alun, pinggir pantai. Saat waktu makan mereka memilih untuk tidak makan di rumah atau bersama keluarga tapi ke kafe, restoran, pinggir pantai atau di tengah lapangan kota. Foya-foya, bersenang-senang, santai ria, kebebasan sepertinya menjadi dunianya. Narkoba, miras menjadi ancaman yang akrab oleh sebagian pemuda.
Ada pengganti pegangan al-Qur’an yaitu smart phone yang bisa akses internet. Mereka tidak asyik membuka lembar-lembar kitab suci al-Qur’an tapi lebih memilih asyik pencet-pencet tombol hp untuk sms atau main game. Jika hp bisa internet maka tangan sulit untuk lepas dari update data di FB, Twitter, WA dan mengikuti perkembangan berita melalui situs-situs surat kabar di internet. Mau tidur dan bangun tidur selalu ada hp dipegangnya, seolah tidak bisa hidup tanpa hp di sampingnya.
Anak muda adalah gambaran masa depan bangsa.
Merekalah yang akan mengisi bangsa ini dengan kiprah dan karyanya. Kalau hari ini mereka foya-foya, tunggu saja keruntuhan bangsa ini. Perlu ada sumpah pemuda versi era milinium dengan menyesuaikan zaman dan tantangan ke depan. Di mana dan mau ke mana anak muda sekarang?
Wallahu a’lam bish shawwab.