.:: CATATAN ADAB (3) ::.
*Catatan ini secara berkala akan diisi oleh Ust Masykur Suyuthi, Lc, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Hidayatullah Balikpapan*
– Dimensi Ilmu –
Apapun, hidup manusia dipagari oleh dimensi ruang dan waktu. Ia berubah, berganti, dan terus berputar. Tak ada yang abadi. Bahwa semua yang bernyawa pasti mati. Setiap benda pasti hancur. Binasa. Tak bersisa. Tak ada yang bisa dibawa pergi.
Mati berarti selesai. Mau tidak mau. Jangan mimpi bawa harta ke dalam kubur. Atau suruh ribuan followers temani di kubur. Itulah dunia. Ada batasnya. Ada masanya. Tak selamanya. Sehebat apapun kuasa Firaun atau Diktator Namrudz saat itu. Mati is done. Game is over.
Lain hal dengan ilmu nafi (bermanfaat). Ia seiring sejalan dengan amal shaleh. Kemanapun manusia, keduanya akan menemani. Hatta manusia sudah berpindah dimensi. Bertukar ruang dan masa. Ia selalu ada. Setia menemani perjalanan manusia.
Itulah mengapa orang beriman lagi berilmu selalu beruntung dalam hidupnya. Dunianya apalagi Akhiratnya. Bukan hanya statusnya yang membanggakan sebagai pewaris para Nabi. Tapi juga dampak yang ditimbulkan dari setiap aktifitasnya. Kata Kanjeng Nabi, setiap pahalanya jariyah dan balasannya mardhiyah.
Jadi, sekali lagi, saat semua akan berubah dan perubahan itu niscaya dalam kehidupan. Maka kualitas manusia menjadi topik sentral. Dialah yang menentukan. Adakah ia menjadi pemenang dalam hidupnya? Ataukah jadi pecundang, kacung, dan terus terjajah oleh nafsunya sendiri.
Rasulullah mengingatkan. Manusia itu harus dikuatkan selalu. Mukmin yang kuat lagi berdaya lebih baik daripada Mukmin lemah. Demikian sabda Nabi. Itu sebabnya manusia harus dikuatkan secara utuh dan terintegrasi. Bukan hanya raga dan fisiknya. Tidak cuma akal dan pikirnya. Tapi juga jiwa dan sukmanya.
Dengan akalnya, manusia mengetahui what happened, yang terjadi di masa lampau. Menganalisisnya di masa sekarang, why it happen, kenapa itu terjadi. Selanjutnya how can make happen, bagaimana bisa membuat (sesuatu) itu terjadi.
Ini tentu bukan sekadar akal-akalan manusia. Apalagi tebak-tebakan atau pakai ilmu cocoklogi. Namun dibutuhkan kejernihan pikiran dan kebeningan hati. Dan itu hanya didapat saat menikmati bacaan al-Qur’an dan khusyuknya doa dalam sujud yang panjang.
Bersambung … (3)